Syahril Syam
http://syahril- ril.blogspot. com
Kemarin saya baru saja berbicara di hadapan anak-anak sebuah SMA Islam. Saya berbicara tentang Holistic Learning kepada mereka. Terdapat satu hal menarik yang saya sempat sharing dengan mereka, yaitu sebuah teknih sederhana yang sangat ampuh untuk melakukan sebuah perubahan ke arah yang positif. Saya berbagi dengan mereka mengenai teknik afirmasi yang dahsyat untuk meningkatkan citra diri mereka.
Sebenarnya teknik ini bukanlah sebuah teknik yang baru dan bahkan sering dilakukan juga oleh kebanyakan orang. Namun ada hal yang sangat berbeda ketika dilakukan oleh kebanyakan orang, yaitu teknik ini sering dilakukan tanpa disadari dan yang kedua, teknik sering dipakai untuk hal-hal yang negatif dan tidak bermanfaat untuk perkembangan diri.
Teknik apakah itu? Sabar dong, nanti Anda juga akan mengatakan bahwa itu sih teknik yang sering saya lakukan. Ok, mari kita lihat teknik ini. Tapi saya ingin mengajak Anda untuk melihat pemakaian teknik ini pada kebanyakan orang, yang pemakaiannya untuk hal-hal yang negatif.
Saya sering sekali melihat seorang laki-laki atau seorang perempuan yang lagi mengalami masalah dengan pacarnya, atau ada yang malah putus dengan pacarnya. Apa yang sering mereka lakukan? Dalam kondisi emosi marah, kesal, jengkel, dan sakit hati yang memuncak, mereka sering mengambil sebuah keputusan yang keliru dan negatif. Sang laki-laki sering mengatakan, ”Perempuan suka ngatur” dan perkataan yang sejenisnya. Seringkali malah over generalisasi dengan mengatakan, ”Semua perempuan sama menjengkelkan” . Sang perempuan sering tak mau kalah dengan mengatakan, ”Laki-laki suka bikin sakit hati” atau over generalisasi ”Semua laki-laki ndak ada yang bisa dipercaya”.
Perkataan-perkataan seperti itu bukan hanya sekedar sebuah kata-kata, seringkali adalah sebuah keputusan. Yang lebih parah lagi adalah keputusan itu sering diambil pada level bawah sadar, keputusan itu sering diambil tanpa disadari. Hal ini bukan saja terjadi terhadap orang yang lagi pacaran, tapi juga sering terjadi pada pasangan suami-istri. Banyak pasangan suami-istri yang hubungannya menjadi semakin tidak harmonis, karena seringnya mengambil kesimpulan-kesimpul an dari adanya beberapa konflik. Dan kesimpulan itu tanpa disadari telah menjadi sebuah keputusan, dan kemudian menjadi belief system. Jika sudah demikian, maka tak heran, selalu saja ada beberapa perubahan perilaku tertentu yang terjadi ketika berhadapan lagi dengan suami atau istri. Dan ini akibat dari sebuah keputusan yang diambil di saat emosi negatif yang memuncak, dan kemudian menjadi belief system.
Jika kita melihat dalam skala yang lebih luas lagi, keputusan negatif ini sering terjadi bukan saja pada sebuah hubungan lain jenis, tapi juga terjadi pada banyak keadaan. Keadaan itu biasanya mempunyai ciri yang sama, yaitu terjadinya suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya rasa sakit hati, marah, jengkel, rasa bersalah, dan kepedihan yang memuncak. Di saat inilah kebanyakan orang mengambil sebuah kesimpulan atas peristiwa tersebut, dan kesimpulan tersebut tanpa mereka sadari adalah sebuah keputusan yang kemudian terjadi peng-instalan dibagian belief system mereka. Walhasil, dari hal inilah terjadi sebuah perubahan perilaku tertentu yang tentu saja akan bersifat alami bagi sang pengambil keputusan.
Saya katakan perilaku tersebut bersifat alami, karena perubahan perilaku itu tidak disadari oleh sang pengambil keputusan. Mari kita lihat sebuah contoh! Begitu banyak orang yang ketika melakukan sesuatu sering mengalami kegagalan. Seringnya kegagalan yang dialami mengakibatkan emosi negatif terpicu dan mencapai kondisi puncak. Di saat inilah sering diambil sebuah kesimpulan dan kemudian menjadi sebuah keputusan yang tidak disadari, yaitu ”Apapun yang saya lakukan pasti gagal lagi.” Keputusan ini sering diambil tanpa disadari, dan karena tidak disadari maka perubahan perilakunya pun akan tidak disadari dan dianggap sebagai sesuatu yang alami dan wajar. Apa perubahan perilaku yang terjadi? Seringkali sang pengambil keputusan akan melakukan respon menolak jika menghadapi lagi sebuah usaha. Respon menolak ini sering dilakukan secara wajar dan alami. Entah kenapa, selalu saja muncul rasa takut gagal, yang kemudian memicu respon menolak. Dan jika ada yang mengatakan, ”Kenapa sih, kamu takut gagal?” Maka akan sering dijawab dengan jawaban yang bersifat pembelaan terhadap diri sendiri dan tidak mengakui bahwa sudah terjadi sebuah perubahan perilaku pada dirinya.
Inilah keputusan-keputusan yang diambil dari berbagai rangkaian peristiwa yang memicu emosi negatif yang memuncak. Jika ada keputusan negatif dan tidak bermanfaat, adakah keputusan yang positif dan bermanfaat? Jawabannya adalah ada. Sederhana saja, jika ada sebuah peristiwa yang memicu emosi negatif yang memuncak, tentu saja dalam kehidupan kita juga ada peristiwa yang memicu emosi bahagia yang memuncak. Dan jika selama ini begitu banyak orang yang jarang mengambil keputusan disaat bahagia, maka cobalah untuk membuat sebuah kebiasaan baru, yaitu mencoba mengambil keputusan penting dan bermanfaat disaat merasakan kebahagiaan yang memuncak. COBALAH!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar