Selasa, 16 Juni 2009
Menjadi Manusia yang Positif > Negatif
Tidak ada manusia yang sempurna. Itu pasti, alami dan hakiki. Namun, pernahkah kita menakar sisi-sisi positif yang kita miliki dibandingkan sisi-sisi negatif yang kita miliki?
Atau setidaknya menjadi sebuah pertanyaan: pernahkah anda introspeksi dan seberapa dalam introspeksi dilakukan? Setelah itu tanyakan pada diri anda sendiri, cukup dengan logika hati nurani tanpa statistika performa: Apakah kita manusia yang "positif > negatif"?
Pertama. Sebuah Perenungan Diri yang Komprehensif
Istilah lainnya evaluasi diri, refleksi, ataupun introspeksi. Kebanyakan dari kita introspeksi dilekatkan pada sebuah peralihan tahun atau momen tertentu. Tidak masalah, karena yang penting di sini adalah komprehensivitas dan kontinuitas. Keluasan dan kedalaman materi perenungan diri tersebut bukan sekedar sebuah rutinitas belaka, tapi memaparkan secara luas tentang gambaran peta diri.
Kedua, Gambaran peta diri
Apa sih peta diri? Kita sering melakukan refleksi di depan cermin, tetapi ternyata kita lebih banyak memperhatikan fisik kita yang ingin kita tampilakn pada orang lain, bukan mengapa kita bisa seperti itu. Dalam hal ini, gambaran peta diri yaitu sebuah deskripsi tentang diri yang "harus" dikumpulkan, ditulis, dan terus ditemukan. Bentuknya berupa "dinamika psikologis" kita per area: kemampuan inteligentif/kognitif, kemauan perasaan/afeksi, dan amal perbuatan/hasil perilaku kita.
Ketiga, Proporsi luas area positif & negatif
Nah, kalau sudah menjadi suatu gambaran peta diri, mari kita lihat skup area yang kita miliki dalam 2 hal: dinamika psikologis positif dan dinamika psikologis negatif. Nah, proporsikan areanya.
Keempat, Neraca timbangan positif & negatif
Ternyata kita tidak cukup sampai menemukan dan memilah area positif dan negatif itu, karena langkah yang lebih penting dari itu adalah melakukan penimbangan, agar terlihat betul bagaimana bobot positif & negatif di timbangan abstrak yang kita miliki. Bandingkan dengan tahun sebelumnya, pancang target untuk tahun selanjutnya.
Terakhir: aksi kita...
Ada orang yang menyadari kemudian berganti aksi, ada yang tidak menyadari dan terus berbuat negatif, ada yang pura-pura positif namun dia tahu kalau hatinya negatif, dan ada orang yang tidak peduli dengan artikel ini!
Rabu, 03 Juni 2009
Positive Story - Bocah Pembeli Es Krim
Minggu siang di sebuah mal. Seorang bocah lelaki umur delapan tahun berjalan menuju ke sebuah gerai tempat penjual eskrim. Karena pendek, ia terpaksa memanjat untuk bisa melihat si pramusaji. Penampilannya yang lusuh sangat kontras dengan suasana hingar bingar mal yang serba wangi dan indah.
"Mbak sundae cream harganya berapa?" si bocah bertanya.
"Lima ribu rupiah," yang ditanya menjawab.
Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantongnya. Ia menghitung recehan di tangannya demngan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar. Maklum, banyak pembeli yang lebih "berduit" ngantre di belakang pembeli ingusan itu.
"Kalau plain cream berapa?"
Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, "Tiga ribu lima ratus".
Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya, " Kalau begitu saya mau sepiring plain cream saja, Mbak," kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga es yang diminta. Si pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.
Beberapa waktu kemudian, si pramusaji membersihkan meja dan piring kotor yang sudah ditinggalkan pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah tadi, ia terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping uang logam limaratusan serta lima keping recehan seratusan yang tersusun rapi.
Ada rasa penyesalan tersumbat dikerongkongan. Sang pramusaji tersadar, sebenarnya bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.
Pesan moral yang dibawa oleh anak tadi: setiap manusia di dunia ini adalah penting. Di mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat, dan dengan penuh hormat.
sumber: milis cetivasi
"Mbak sundae cream harganya berapa?" si bocah bertanya.
"Lima ribu rupiah," yang ditanya menjawab.
Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantongnya. Ia menghitung recehan di tangannya demngan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar. Maklum, banyak pembeli yang lebih "berduit" ngantre di belakang pembeli ingusan itu.
"Kalau plain cream berapa?"
Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, "Tiga ribu lima ratus".
Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya, " Kalau begitu saya mau sepiring plain cream saja, Mbak," kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga es yang diminta. Si pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.
Beberapa waktu kemudian, si pramusaji membersihkan meja dan piring kotor yang sudah ditinggalkan pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah tadi, ia terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping uang logam limaratusan serta lima keping recehan seratusan yang tersusun rapi.
Ada rasa penyesalan tersumbat dikerongkongan. Sang pramusaji tersadar, sebenarnya bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.
Pesan moral yang dibawa oleh anak tadi: setiap manusia di dunia ini adalah penting. Di mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat, dan dengan penuh hormat.
sumber: milis cetivasi
Langganan:
Postingan (Atom)